Perjanjian
adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan
hukum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya
terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Perjanjian
adalah sumber perikatan. ( Pasal
1313 KUH Perdata )
perjanjian
harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para
pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya
kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka
laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh
tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila
perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak,
maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2. Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan
Pada saat
penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau
cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang
disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah
orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.
3. Mengenai suatu
hal tertentu
Secara yuridis
suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal
tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian
harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian,
maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak
mengira-ngira.
4. Suatu sebab
yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab
dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat
pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang
atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar,
maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan
keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi
perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal
demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu
perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat
dijalankan.
Asas-asas
perjanjian
1.
Asas Kebebasan
Berkontrak (freedom of contract)
Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi
syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta
ketertiban umum. Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” “Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara
siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu
tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum
(undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi) dan ketertiban umum
(misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).
2. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu
pihak ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa
agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
perjanjian – bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang lain membayar ganti
rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para
pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum – secara pasti memiliki
perlindungan hukum.
3. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme berarti kesepakatan (consensus), yaitu pada
dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat. Perjanjian
telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga
sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip
ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu
terhadap suatu perjanjian, misalkan syarat harus tertulis – contoh, jual beli
tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta
otentik Notaris.
4. Asas Itikad Baik (good faith/tegoeder trouw)
Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan
perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin para pihak
itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau
menutup-nutupi keadaan sebenarnya.
5. Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara
personal – tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan
kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat
mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para
pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata
disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau
setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan,
kekhilafan dan penipuan.
1.
Kecakapan, yaitu bahwa
para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum,
serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Hapusnya Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu
dengan cara-cara sebagai berikut:
A.
Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal
1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang.
Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai
subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie
dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal
1402 KUH Perdata).
B.
Penawaran
pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada
Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara pembayaran yang
harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari
debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada
Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti
dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur
kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah penawaran pembayaran itu
disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan
itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan
demikian hapuslah utang piutang itu.
C.
Pembaharuan
utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan perjanjian
baru yang menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata
ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang
diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
D.
Perjumpaan
utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara
penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan
utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur. Jika
debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan
kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata,
perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber
utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali:
·
Apabila
penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
·
Apabila
dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
·
Terdapat
sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak
dapat disita (alimentasi).
E.
Percampuran utang
Adalah apabila kedudukan sebagai
orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu
orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana
utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya,
atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
F.
Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata,
Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela
membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
G.
Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu yang
menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang,
hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah
perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang
dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
H.
Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata
adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak
yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila
salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif
yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut Prof. Subekti
permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi
syarat subyektif dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu:
·
Secara aktif
menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim
·
Secara
pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk
memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.
I.
Berlakunya
suatu syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH Perdata,
syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan
perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah
tidak penah terjadi perjanjian.
J.
Lewat waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata,
daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau
untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata
disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun
yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga
puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah
dibuat tersebut menjadi hapus.
STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur atau kerangka dari suatu
perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
1.
Judul/Kepala
2.
Komparisi yaitu
berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa
perjanjian itu dibuat.
3.
Keterangan
pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim
dinamakan “premisse”.
4.
Isi/Batang
Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari
perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
5.
Penutup dari
Perjanjian.
BENTUK
PERJANJIAN
Perjanjian dapat
berbentuk:
- Lisan
- Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:
1.
Di bawah
tangan/onderhands
2.
Otentik
REFERENSI :